Wednesday, December 17, 2014

Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014

SHARE


Faktor – faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian ISPA
Pada Anak Balita
Di Puskesmas Pandaan - Pasuruan Tahun 2014


  




Nama : Feriayu Vitaria
NIM : 201314401011

AKADEMI KEPERAWATAN DIPLOMA III
KAMPUS TERPADU SAKINAH
Jalan Raya Surabaya – Malang KM 42 Kepulungan
Gempol-Pasuruan
Tahun Ajaran 2014/2015


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena berkat rahmat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Komunitas tentang Proposal Penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014”
Dalam penulisan Proposal ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi yang disajikan mengingat kemampuan yang dimiliki penulis masihlah terbatas. Maka dari itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak khususnya dari dosen pembimbing untuk kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Akhir kata semoga Proposal ini dapat memberikan manfaat sebagai salah satu sumber referensi pembelajaran mata kuliah Ilmu Keperawatan Komunitas tentang Proposal Penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014”. Akademi Keperawatan Diploma III Kampus Terpadu Sakinah tahun ajaran 2014/2015.
Pasuruan, 4 Oktober  2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3-6 x pertahun.Ini berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk, pilek sebanyak 3-6 x setahun.Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien disarana kesehatan.Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat dipuskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inab rumah sakit disebabkan oleh ISPA (DepKes.RI, 2009). Kematian akibat ISPA terutama Pneumonia di Indonesia,pada akhir 2000 sekitar 450.000 balita usia 0-5 tahun. Diperkirakan sebanyak 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus perhari atau 17 anak perjam atau seorang bayi / balita tiap lima menit (Depkes.RI,2009)
Menurut hasil Riskesdes 2007, Prevalensi Nasional ISPA adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35%, sedangkan terendah yaitu pada kelompok umur 15 sampai dengan 24 tahun. Kejadian ISPA di Provinsi Jawa Timur diatas Prevalensi Nasional yaitu sebanyak 29,08% . Perlu dicatat bahwa penyakit ISPA merupakan masalah kesehatan tidak boleh diabaikan karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang tinggi dengan rasio 1 antara 4 bayi.Jadi kita dapat memperkirakan episode ISPA dapat terjadi 3-6 kasus kematian setiap tahun. Angka tersebut dibuktikan pada kunjungan pasien kepuskesmas yang cukup tinggi untuk penyakit ISPA yaitu rata-rata lebih dari 25% terutama pada usia balita. Penyakit ini dapat ditularkan melalui udara pernafasan yang mengandung kuman yang dihirup orang sehat lewat saluran pernafasan. ISPA yang tidak ditangani secara lanjut apabila dianggap sepele dapat berkembang menjadi pneumonia (khususnya menyerang anak kecil dan balita apabila terdapat zat gizi yang kurang dan ditambah dengan keadaan lingkungan yang tidak bersih) (Yusri, 2011).
Berdasarkan study awal yang di lakukan peneliti di Puskesmas Pandaan sebanyak 992 balita, terdapat 146 anak yang berumur 0-5 tahun yang menderita ISPA (data Puskesmas Pandaan tahun 2013).
Berdasarkan  Latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014”.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‟Bagaimana Faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014”

1.3         Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Untuk Mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian  ISPA pada anak balita Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan tahun 2014. 
1.3.2        Tujuan Khusus
a.      Untuk menganalisis hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada Anak 0-5 tahun Di Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.
b.     Untuk menganalisis hubungan Paritas ibu dengan kejadian ISPA pada Anak 0-5 tahun Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.
c.      Untuk menganalisis hubungan Status Ekonomi ibu dengan kejadian ISPA pada Anak 0-5 tahun Di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.

1.4         Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1.4.1        Bagi Peneliti
Diharapkan peneliti  ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam penulisan Proposal karya tulis ilmiah serta menambah pengalaman dalam bidang penelitian khususnya mengenai ISPA.
Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat, khususnya ibu-ibu menyusui tentang ISPA.
1.4.2        Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat bagi mahasiswa tentang tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ISPA.
1.4.3        Bagi Tempat Pendidikan Lain
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat bagi pelayanan ibu menyusui dan ISPA di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
                   
2.1         ISPA
2.1.1   Pengertian  ISPA
Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan. Infeksi saluran nafas adalah penurunan kemampuan pertahanan alami jalan nafas dalam menghadapi organisme asing (Benny, 2010).
Menurut Prabu (2009) ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian psenyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dimana pengertiannya sebagai berikut: 
a.    Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b.    Saluran pernafasan
Adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
c.    Infeksi Akut
Adalah Infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Akan tetapi secara klinis ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari, pada organ pernapasan berupa hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic (Misnadiarly, 2008).

2.1.2   Tanda dan Gejala ISPA
Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung dengan secret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernapasan, balita menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Benny, 2010).
Tanda gejala yang muncul ialah (Benny, 2010): 
a.       Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.
b.      Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.
c.       Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum.
d.      Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami sakit.
e.       Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi virus.
f.       Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric.
g.      Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.
h.      Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.
i.        Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan.

2.1.3   Penyebab ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Misnadiarly, 2008).
2.1.4   Penularan ISPA
ISPA ditularkan lewat udara. Pada saat orang terinfeksi batuk, bersin atau bernafas, bakteri atau zat virus yang menyebabkan ISPA dapat ditularkan pada orang lain (orang lain menghirup kuman tersebut). Ada faktor tertentu yang dapat memudahkan penularan: 
1.      Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah menular dalam rumah yang mempunyai kurang ventilasi (peredaran udara) dan ada banyak asap (baik asap rokok maupun asap api).
2.      Orang yang bersin/batuk tanpa menutup mulut dan hidung akan mudah menularkan kuman pada orang lain.
3.      Kuman yang menyebabkan ISPA mudah menular dalam rumah yang ada banyak orang (mis. banyak orang yang tinggal di satu rumah kecil)
(Misnadiarly, 2008).
2.1.5   Pencegahan ISPA
Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat rentan terhadap serangan sehingga pengobatan ISPA biasanya di fokuskan kepada mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah. ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut sangat rentan kepada anak-anak, itulah mengapa kasus ISPA sebagai penyakit dengan prevalensi sangat tinggi di dunia juga menunjukkan angka kematian anak yang sangat tinggi dibandingkan penyakit lainnya (Yusri, 2011).
Pencegahan ISPA yang dilakukan adalah upaya yang dimaksudkan agar seseorang terutama anak-anak dapat terhindar baik itu infeksinya, maupun melawan dengan sistem kekebalan tubuh, karena vektor penyakit ISPA telah sangat meluas di dunia, sehingga perlu kewaspadaan diri untuk menghadapi serangan infeksi, bukan hanya dalam hal pengobatan ISPA (Yusri, 2011).
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada anak antara lain:
a.       Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.
b.      Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap penyakit baik.
c.       Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d.      Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satunya adalah memakai penutup hidung dan mulut ketika kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit ispa
(Adhisty, 2013).

2.2         FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA
Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya ISPA, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Adapun faktor tersebut adalah sebagai berikut :
2.2.1   Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh balita itu sendiri. Faktor intrinsik adalah faktor yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor intrinsik terdiri dari status gizi, status imunisasi balita, riwayat BBLR, umur balita
2.2.1.1  Status Gizi
Balita adalah kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit.Kelompok ini merupakan kelompok yang paling sering menderita penyakit akibat gizi dalam jumlah besar (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:231). Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya system pertahanan tubuh. Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limfoid yang berperan dalam system kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh (Moehji, 2003:13).


2.2.1.2  Imunisasi Balita
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh  (I.G.N Ranun, 2005:7).
Imunisasi lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA. Campak, pertusis, difteri dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka peningkatan cakupan imunisasi seperti diifteri, pertusis serta campak  akan berperan besar dalam upaya pemberantasan penyakit tersebut. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Depkes RI, 2009:13).
2.2.1.3  Riwayat BBLR
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan, perkembangan fisik dan
mental pada balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai faktor risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama melahirkan karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan. Apabila daya tahan terhadap tekanan dan stress menurun, maka sistem imun dan antibodi berkurang, sehingga mudah terserang infeksi. Pada anak hal ini dapat mengakibatkan kematian (Sunita Almatsier, 2004:11). 
2.2.1.4  Umur Balita
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari 1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA. Hal ini disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit. Pneumonia pada anak balita sering disebabkan virus pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi yang kurang lengkap, pemberian nutrisi yang kurang baik, tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan terhadap asap dapur, asap rokok, serta penderita pneumonia lainnya (Misnadiarly, 2008:6).
2.2.2   Faktor Ekstrinsik
Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya disebut faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman penyebab yang terdiri dari tiga unsur yaitu biologi, fisik dan sosial ekonomi yang meliputi kondisi fisik rumah, jenis bahan bakar, ventilasi, kepadatan hunian, care seeking, kebiasaan orang tua merokok, polusi asap dapur, lokasi dapur, pendidikan ibu, pekerjaan orang tua, dan pengahasilan keluarga.
Selain kondisi fisik rumah, faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap
kejadian ISPA pada balita yaitu:
2.2.2.1  Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampun individu yang optimal. Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan penyakit (Ahcmad Munib dkk, 2004:33). 
Dalam Juli Soemirat Slamet (2002:87), menyatakan bahwa kualitas
pendidikan berbanding lurus dengan pencegahn penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatn lingkungan dan informasi yang didapat tentang kesehatan. Semakin rendah pendapatan ibu makan semakin tinggi resiko ISPA pda balita
2.2.2.2  Paritas  
Paritas Keadaan melahirkan anak baik hidup ataupun mati, tetapi bukan aborsi, tanpa melihat jumlah anaknya. Dengan demikian,kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas (Stedman,2003). Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai olehseorang perempuan (BKKBN, 2006). 
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yangmampu hidup di luar rahim (28 minggu) (JHPIEGO,2008). Jumlah paritas merupakan salah satu komponen dari status paritasyang sering dituliskan dengan notasi G-PAb, dimana G menyatakanjumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas, dan Abmenyatakan jumlah abortus. Sebagai contoh, seorang perempuandengan status paritas G3P1Ab1, berarti perempuan tersebut telahpernah mengandung sebanyak dua kali, dengan satu kali paritas dansatu kali abortus, dan saat ini tengah mengandung untuk yang ketigakalinya (Stedman, 2003).  Adapun Klasifikasi Paritas :
Berdasarkan jumlahnya, maka paritas seorang perempuan dapat dibedakan menjadi: 
a.    Nullipara 
Nullipara adalah perempuan yang belum pernah melahirkan anak sama sekali (Manuaba, 2009). 
b.    Primipara 
Primipara adalah perempuan yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup didunia luar (Verney, 2006) Primipara adalah perempuan yang telah pernah melahirkan sebanyak satu kali (Manuaba,2009). 
c.    Multipara
Multipara adalah perempuan yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2005) Multipara adalah perempuan yang telah melahirkan dua hingga empat kali (Manuaba, 2009) 
d.   Grandemultipr
Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan 5 oranganak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2009)Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan lebihdari lima kali (Verney, 2006)Grandemultipara adalah perempuan yang telah melahirkan bayi 6kali atau lebih,  hidup atau mati (Rustam, 2005).
2.2.2.3  Status Ekonomi
Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006)
Status ekonomi sangat sulit dibatasi. Hubungan dengan kesehatan juga kurang nyata yang jelas bahwa kemiskinan erat kaitanya dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang mana sebab dan mana akibat. Status ekonomi menentukan kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan, tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga, teknologi dll (Juli Soemirat, 2000:88). Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat, membayar transport dll (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:18). Adapun tingkat ekonomi :
Geimar dan Lasorte (1964) dalam Friedman (2004) membagi keluarga terdiri dari 4 tingkat ekonomi:
a.    Adekuat 
Adekuat menyatakan uang yang dibelanjakan atas dasar suatu permohonan bahwa pembiayaan adalah tanggung jawab kedua orang tua. Keluarga menganggarkan dan mengatur biaya secara ralisitis.
b.    Marginal
Pada tingkat marginal sering terjadi ketidaksepakatan dan perselisihan siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.
c.    Miskin 
Keluarga tidak bisa hidup dengan caranya sendiri, pengaturan keuangan yang buruk akan menyebabkan didahulukannya kemewahan. Diatas kebutuhan pokok, manajemen keuangan yang sangat buruk dapat atau tidak membahayakan kesejahteraan anak, tetapi pengeluaran dan kebutuhan keuangan melebihi penghasilan.
d.   Sangat Miskin
Menejemen keuangan yang sangat jelek, termasuk pengeluaran saja dan berhutang terlalu banyak, serta kurang tersedianya kebutuhan dasar.  Menurut (UMR,Kab Aceh 2013) status ekonomi seseorang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
-       Penghasilan tipe kelas atas > Rp 1.550.000, 
-       Penghasilan tipe kelas bawah < Rp 1.550.000
2.2.2.4  Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:121). 
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcame) pendidikan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:106). 
Untuk dapat merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku yang sehat, perlu pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Karena tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat dan terlindung dari penyakit (Juli Soemirat, 2009:9).
2.2.2.5  Pemberian ASI eksklusif
Bayi atau balita yang kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit penyakit infeksi , termasuk diare dan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi bayi memerlukan perhatian yang serius. Gizi bagi bayi yang paling sempurna dan paling murah adalah Air Susu Ibu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:244).ASI adalah cairan hidup yag mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Bayi ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Utami Roesli, 2008:8).
2.2.2.6  Keberadaan Anggota Keluarga yang Menderita ISPA
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi dan balita  dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga meupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular sperti ISPA (Depkes RI, 2001:2). 

2.2.2.7  Perilaku
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap kepercayaan, tradisi, dan sebagian dari orang tua tau
masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas kesehatan,sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga dapat memperkuat terbentuknya perilaku (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:165).
Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan, proaktif untuk
memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit (Depkes RI, 2003:3). Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007:137) menyatakan bahwa perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.


 



















BAB III
KERANGKA PENELITIAN

3.1         KERANGKA KONSEP
             Menurut Wiknjosastro Faktor ekstrinsik (Pendidikan, Paritas dan Status Ekonomi) yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada anak balita umur 0-5 tahun di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014, Berdasarkan landasan teori tersebut maka dapat du uraikan kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen                                                    Variabel Dependent


 





Skema 3.1 Kerangka konsep Penelitian\


3.2         DEFINISI OPERASIONAL            
Tabel 3.1 Definisi Operasional

No
Variabel
Definisi Operasional
Cara  Ukur
Alat  Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur

Dependen
            



1
ISPA
Kejadian Penyakit
ISPA pada anak 0-5 tahun yang mengenai jaringan paruparu.
Menurut diagnosa di
Puskesmas 

Ceklist 
-  Ya
-  Tidak 
Ordinal

Independen
            



2
Pendidikan
Ibu
Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh ibu dan berijazah. 
Membagikan Kuesioner .

Kuesioner

-     Universitas
-     SMU/ Sederajat
-     SMP
-     SD /Sederajat
Ordinal
3
Paritas 
Jumlah anak yang pernah dilahirkan ibu yang hidup atau mati
Membagikan
Kuesioner 

Kuesiner 
-Primipara
- Multipara
-Grande multipara
-Nulipara
Ordinal 
4
Status
Ekonomi/ Pendapatan keluarga
Penghasilan keluarga perbulan  yang di terima oleh ibu 
Membagikan
Kuesioner
Kuesioner
-     Tinggi≥UMP
1.550.000
-     Rendah< UMP
1.550.000
Ordinal 








3.3         Cara Pengukuran Variabel 
A.           Pengukuran Variabel ISPA
a)    Ya : bila responden menderita ispa
b)   Tidak  : bila responden tidak menderita ispa
B.            Variabel Pendidikan Menurut ( Notoadmodjo, 2013 )
a)    Tinggi : Bila pendidikan ibu Universitas. 
b)   Menengah  : biala pendidikan ibu SMA/ sederajat .
c)    Dasar : bila pendidikan ibu SMP/SD/ sederajat.
C.           Variabel Paritas Menurut ( Manuhaba, 2002 )
a)    Primi para :  Pernah melahirkan 1 kali
b)   Multi para  : Pernah melahirkan 2-5 kali
c)    Grande Multi para : lebih dari 5 kali
d)   Nuli para : pernah melahirkan tetapi anak yang di lahirkan meninggal
D.           Variable Ekonomi  Menurut (UMR tahun 2013)
a)      Tinggi, Jika ibu menjawab penghasilan keluarga ≥ Rp. 1.550.000
b)      Rendah, Jika Ibu menjawab penghasilan  < Rp. 1.550.000







 BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1         Jenis  Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan rancangan penelitian Cross sectional, yaitu pengamatan hanya di lakukan sekali pada saat ibu dan anaknya yang berumur 0-5 tahun yang berkunjung kepuskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.

4.2         Populasi dan sampel
4.2.1   Populasi  
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai anak umur 0-5 tahun yang menderita ispa di puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan  pada tahun 2014.
4.2.2   Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu seluruh ibu yang mempunyai Anak umur 0-5 tahun yang berkunjung ke puskesmas pandaan yang berjumlah 10 orang. Untuk menentukan besarnya sampel dari populasi peneliti menggunakan rumus Solvin :


 













4.3         Tempat Dan Waktu Penelitian  
4.3.1   Tempat
Tempat Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pandaan Kabupaten Pasuruan Tahun 2014.
4.3.2   Waktu
WaktuPenelitian ini rencana akandilakukan selama 1 bulan yaitu bulan Juli 2014 

4.4         Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dikumpulkan adalah:
1.             Data Primer
Pengumpulan Data dilakukan melalui wawanacara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya yang bersifat pertanyaan pertanyaan yang harus dijawab oleh responden.
2.             Data sekunder 
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan di Dinas Kesehatan Pandaan Kabupaten Pasuruan

4.5         Instrumen Penelitian
Adapun intrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner dengan jumlah  pertanyaan 4 pertanyaan Untuk jawaban “ benar” mendapat nilai 1, sedangkan jawaban „„salah‟‟mendapat  nilai 0. Dengan rincian 1 petanyaan tentang ISPA, 1 pertanyaan mengenai pendidikan, 1 pertanyaan mengenai paritas dan 1 pertanyaan mengenai Ekonomi.
         
4.6         PENGOLAHAN DATA
Menurut Budiarto (2002) pengelolahan data dilakukan secara manual dengan mengikuti proses sebagai berikut:
a.             Editing
Setelah pengumpulan data, dilakukan pemeriksaan kembali terhadap kuesioner yang telah diisi responden, apakah semua pertanyaan telah terisi, apakah ada kekeliruan yang mungkin dapat menggangu pengolahan data selanjutnya.
b.             Coding
Memberikan kode pada jawaban-jawaban kuesioner untuk memudahkan pengolahan data.Kode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kode responden yang diawali dengan 001 sampai responden terakhir.
c.              Transfering
Data yang telah duberi kode disusun secara berurutan dari responden pertama sampai dengan responden terakhir untuk dimasukkan ke dalam tabel sesuai dengan sub variable yang diteliti. 
d.             Tabulating
Mengelimpokkan data berdasarkan katagori yang telah dibuat untuk tiap-tiap subvariabel yang diukur dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel frekwensi.

4.7         ANALISA DATA
4.7.1         Analisa Univariat
Dilakukan terhadap variable dari hasil penelitian.Analisa ini menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variable (Notoatmodjo, 2005).    Penentuan persentase (P) terhadap variable menggunakan rumus (Budiarto, 2002) sebagai berikut :

Keterangan:
P    = Angka persentase
Fx   = frekwensi yang dicari persentase n     = Jumlah seluruh responden
4.7.2         Analisa Bivariat
Analisa ini digunakan untuk menganalisis hipotesis, yang diolah dengan computer menggunakan rumus SPSS versi 16, untuk menentukan hubungan antara variable independen dengan variable dependen melalui uji Chi-Square Tes (X2). Untuk melihat kemaknaan (CI) 0,05% (Arikunto, 2006), dengan ketentuan bila nilai p< 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukan adanya hubungan antara variable terikat dengan variable bebas.
Untuk menentukan nilai p-value Chi-Square Tes (X2) table, menurut Hastono (2001) memiliki ketentuan sebagai berikut:
1)        Bila Chi-Square Tes (X2) table terdiri dari table 2x2 dijumpai nilai ekspantasi (E) <5, maka p value yang digunakan adalah nilai yang terdapat pada nilai Fisher Exact Test.
2)        Bila Chi-Square Tes (X2) table terdiri dari table 2x2 tidak dijumpai nilai ekspantasi (E) <5 maka p value yang digunakan adalah nilai yang terdapat pada nilai Continuity Correction.
3)        Bila Chi-Square Tes (X2) table terdiri lebih dari table 2x2, contohnya table 3x2, 3x3 dan sebagainya, maka p value yang digunakan adalah nilai yang terdapat pada nilai Pearson Chi-Square.
4.8         PENYAJIAN DATA
Data yang diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.











DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2002. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita: Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2007. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat untuk Puskesmas. Jakarta: Dinas Propinsi Jawa Timur.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita, Dewasa, dan Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer Mughni Isfahami Rahmadiar. 2012.
Nana S dan Tinah. 2011. Hubungan Pendidikan Ibu Dan Status Ekonomi Keluarga Dengan Kejadian Ispa Pada Balita.  Jurnal Kebidanan, Vol. IV, No. 01, Juni 2012. (Online) http://journal.akbideub.ac.id/index.php/ jkeb/article/ view/49/48 Diakses 5 September 2012
Nasution, Kholisah, dkk. 2009. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2009. (Online) http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/11-4-1.pdf Diakses 30 September 2012 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta:Rineka Cipta 
Sukmawati dan Sri Dara. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL),Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros .Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli – Desember 2010 (Online)http://jurnal mediagizipangan.files.wordpress.com/2012/04/3-hubungan-status-gizi-berat-badan-lahir-bbl-imunisasi-dengankejadian-infeksi-saluran-pernapasan-akut-ispa-pada-balita-di-wilayah-kerjapuskesmas-tunikamaseang-kabupaten-maros.pdf Diakses 5 September 2012
 Suripto. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Kabupaten Pekalongan. Tesis: Universitas Diponegoro, Semarang




SHARE

Author: verified_user

0 comments: